Oleh: Muhammad Nur Hasan (Dosen Tetap Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah Lamongan)
(Dokumen Pribadi, 2024)
Baru-baru ini, dua hashtag #JanganJadiGuru dan #JanganJadiDosen ramai di Twitter (X). Munculnya tagar ini, diiringi dengan banyaknya dosen dan guru yang spill slip gaji mereka dengan mengunggahnya di media sosial, menunjukkan keresahan mereka terhadap rendahnya gaji para pendidik di Indonesia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, rata-rata gaji guru di Indonesia hanya sekitar Rp 2,5 juta per bulan. Gaji ini jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR) di banyak daerah di Indonesia. Sementara itu, gaji dosen juga tidak jauh lebih baik. Rata-rata gaji dosen di Indonesia sekitar Rp 4,5 juta per bulan, dengan gaji dosen di perguruan tinggi swasta sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan dosen di perguruan tinggi negeri.
Rendahnya gaji guru dan dosen ini tentu saja menjadi faktor yang mendorong banyak orang untuk enggan memilih profesi ini. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, mengingat peran penting guru dan dosen dalam mengemban amanat UUD’45, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Betapa sebuah tugas besar nan mulia namun lebih sering dijanjikan dapat imbalan akhirat.
Doktrin semacam itu sudah ada sejak konsep pendidikan baik konvensional maupun modern dimulai. Alih-alih guru maupun dosen kesejahteraannya dinomor satukan, seorang pendidik masih dilekatkan dengan gelar “pahlawan tanpa tanda jasa”. Julukan ini juga menggambarkan bahwa seorang pendidik adalah orang yang dianggap berani dan rela berkorban tanpa memikirkan timbal balik apapun.
Akan tetapi lain daripada itu, perlu diingat bahwa menjadi seorang pendidik tidak hanya tentang gaji. Berdasarkan pengalaman pribadi, ada banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan ketika memilih profesi ini. Berikut adalah beberapa hal yang dapat dijadikan acuan bagi siapa saja yang ingin mengabdikan diri sebagai guru ataupun dosen sebagai karirnya.
Pertama, panggilan jiwa. Menjadi seorang pendidik adalah sebuah panggilan jiwa. Orang yang memilih profesi ini harus memiliki kecintaan terhadap dunia pendidikan dan memiliki keinginan untuk membantu orang lain belajar dan berkembang. Sehingga seseorang yang berilmu dan memang jiwanya di dunia pendidikan, maka merasa ada tanggung jawab moral menjadi seorang pendidik.
Kedua, kepuasan batin. Menjadi seorang pendidik adalah profesi yang mulia. Kita membantu mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun generasi penerus bangsa yang berkualitas. Kepuasan batin yang diperoleh dari membantu orang lain belajar dan berkembang adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya. Apalagi melihat anak didik kita ada yang sukses karena bimbingan dari kita.
Ketiga, peluang pengembangan diri. Menjadi seorang pendidik tidak berarti berhenti belajar. Sebagaimana kata pepatah asing, “teaching is a great way to keep learning”. Di mana cara terbaik agar terus bisa belajar adalah menjadi pendidik. Kita harus terus belajar dan mengembangkan diri agar dapat memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak didik kita. Ada banyak peluang pengembangan diri yang tersedia bagi para pendidik, seperti mengikuti pelatihan, seminar, lokakarya, dan workshop. Dari sini seorang pendidik akan terus upgrade skill, apalagi di Indonesia kurikulum pendidikan juga selalu update.
Keempat, peluang karir. Menjadi seorang pendidik memiliki peluang karir yang luas. Gaji adalah satu komponen kesejahteraan pendidik. Yang membuat tinggi rendahnya pendapatan adalah nilai tambah dan kualitas diri -keahlian dari pendidik tersebut. Karena selain dari mengajar, banyak komponen tambahan yang didapatkan di antaranya melaui karya tulis, proyek penelitian dan PKM, menjadi konsultan, tenaga ahli, pembicara, trainer, dan lain-lain.
Kelima, gaji dan kesejahteraan. Meskipun gaji guru dan dosen di Indonesia masih tergolong rendah, namun pemerintah telah menunjukkan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan para pendidik. Pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan gaji dan kesejahteraan guru dan dosen, seperti Tunjangan Profesi Guru (TPG), Program Pendidikan Profesi Guru (PPG), mengangkat tenaga honorer menjadi ASN, Sertifikasi Guru, Sertifikasi Dosen, dan lain sebagainya.
Meski demikian, perlu diakui pemerintah masih banyak PR untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen di Indonesia. Tidak heran jika setiap pemilihan presiden topik ini selalu dijadikan objek program atau janji kampanye. Namun dalam sudut pandang lainnya, hal ini tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk enggan memilih profesi ini.
Dikarenakan menjadi seorang pendidik adalah profesi yang mulia dan penuh dengan peluang. Jika kita memiliki panggilan jiwa, kecintaan, kerelaan, keikhlasan, serta pengabdian terhadap dunia pendidikan, maka menjadi seorang pendidik adalah pilihan yang tepat. Sebagaimana petuah dari rektor IAI TABAH Lamongan, “Menjadi seorang pendidik, tanamkan nilai-nilai pengabdian dan dedikasi. Karena hidup akan menjadi berkah dan yang lainnya pasti ngikut”.
So, tugas mulia menanti kita. Terlebih menjadi seorang pendidik secara sosial masih sangat dihargai, sehingga tidak semua bisa didefinisakan dan dikonversi dengan gaji. Di lain sisi saya masih meyakini bahwa menjadi pendidik adalah tugas langit. Jadi bagi yang ingin menjadi pendidik, jangan ragu maupun goyah. Kuncinya tetap kreatif dan jangan hanya mengandalkan dari gaji mengajar.
Sebagai pesan penutup dari coretan saya ini, jika ingin hidupnya mapan secara finansial saat berprofesi menjadi guru maupun dosen, cari tambahan dari aktivitas lain yang masih relate dengan profesi. Skill yang dimiliki dapat diimplementasi dalam best practice dan kemudian pengalaman tersebut diajarkan di kelas. Buat karya secara istiqomah dan sebaik mungkin, terutama banyak sekali peluang yang dapat dikerjakan dan menghasilkan cuan di era digital saat ini. Tetap semangat dan jangan lupa full senyum!