Berpemilu Untuk Peradaban

by | Jul 4, 2023 | Opini | 0 comments

Oleh: Moh. Nasrul Amin (Dekan FUDES IAI Tarbiyatut Tholabah Lamongan)

Gambar Ilustrasi (sumber: https://geotimes.id/)

Pada tahun 2024 menjadi tahun yang istimewa, dimana pesta demokrasi dilakukan, masyarakat biasa menyebutnya pilkada atau pemilu, berbeda dengan PILKB yang tidak ditunggu oleh siapapun. Pilkada atau Pemilu menjadi momentum yang selalu ditunggu banyak khalayak, terlebih para aktivis politik di negeri ini, bagaimana tidak? karena manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifah (pemimpin), mungkin prinsip ini yang setidaknya menjadi alasan kuat mengapa moment pemilu selalu ditunggu oleh para politisi, berebut kursi calon menjadi hal yang lumrah dan isunya sudah menjadi tontonan yang digemari masyarakat. Namun, yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah dengan cara pemilu negeri ini akan mendapatkan seorang pemimpin yang mampu memberikan peradaban hidup yang lebih baik, sampai saat ini pertanyaan tersebut masih belum menemukan jawabannya.

Akan tetapi, setidaknya pelaksanaan pemilu memberikan cukup ruang masyarakat untuk memilih pemimpin yang mereka anggap positif dan mampu membuat perubahan hidup ke arah yang lebih baik. Namun, esensi pemilu pada dasarnya mencari dan memilih sosok pemimpin yang akan membuat perubahan nyata, tidak sekedar isu-isu semata tentang perubahan yang sering disampaikan saat kampanye. Jika hasil dari pemilu nyatanya tidak membuat perubahan dan memberikan dampak positif bagi kemaslakhatan masyarakat negeri ini, maka dapat dikatakan bahwa pemilihan pemimpin lewat jalur pemilu dinilai belum menemukan makna sesungguhnya, karena kerangka konseptual tentang perubahan belum juga dapat dilihat wujudnya. Atau janji-janji perubahan yang mereka sampaikan hanya menjadi alat kampanye untuk menarik dukungan.

Negeri ini memang membutuhkan perubahan nyata melihat kondisi sosial yang belum juga kunjung ideal, pelayanan publik yang masih ambigu, pembangunan infrastruktur yang belum kunjung selesai, kondisi ekonomi yang masih belum stabil, kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, persoalan teologi yang dipolitisasi, sistem pendidikan yang terus berubah sehingga membuat kaum pelajar negeri ini resah. Pekerjaan rumah inilah yang tentunya harus cepat diselesaikan, agar negeri ini nantinya dapat mewariskan peradaban hidup yang positif kepada generasi yang akan datang. Pemilu secara spesifik nampaknya menjadi harapan utama untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dapat memberikan perubahan untuk peradaban negeri ini. Akan tetapi secara substantif makna konkrit dalam pemilu adalah adanya sejumlah gagasan dan realiasi untuk melakukan sejumlah perbaikan-perbaikan mendasar di segala bidang yang hasilnya dapat dirasakan masyarakat luas, hal inilah yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat di negeri ini, mereka butuh perkembangan ke taraf hidup yang lebih baik, perkembangan pemikiran, perkembangan kondisi sosial, dan pelayanan masyarakat yang adil tidak membedakan kasta dan jabatan.

Dalam konteks definitif pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan politik tertentu. Jabatan tersebut variatif, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.

Pemilu merupakan salah satu mekanisme demokrasi di NKRI. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa rakyat memiliki kekuasaan (kedaulatan) yang tertinggi. Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui wakilnya (representative democracy) adalah melalui Pemilu. Pada awalnya Pemilu di Indonesia bertujuan untuk memilih anggota lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) semula dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Kemudian berdasarkan amandemen keempat UUD 1945 pada 2002 pilpres dilakukan secara langsung oleh rakyat sehingga pilpres dimasukkan dalam agenda Pemilu. Dalam konteks sepanjang sejarah berdirinya NKRI, telah diselenggarakan 12 kali Pemilu anggota lembaga legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009. 2014, 2019.

Pilpres sebagai salah satu dari Pemilu di Indonesia diadakan pertama kali pada tahun 2004. Selanjutnya pada tahun 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari agenda pemilu di Indonesia. Istilah Pemilu di Indonesia lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

Pada era reformasi berkembang asas “Jurdil” yang merupakan singkatan dari “Jujur dan Adil”. Asas jujur mengandung makna bahwa pemilihan umum harus dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih.

Sedangkan asas adil mengandung makna perlakuan yang sama atau adil terhadap peserta Pemilu dan pemilih. Tidak ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil berlaku untuk pemilih ataupun peserta pemilu, dan juga penyelenggara pemilu.

Fenomena politik dalam suatu Negara, utamanya Indonesia tidak bisa lepas para penduduknya, menggunakan konsep “demokrasi” sebagai pijakan utama, menjadikan masyarakat memiliki kewajiban moral untuk menentukan pilihan kepada calon pemimpin sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Demokrasi memang mengikat masyarakat untuk turut andil dalam memutuskan suatu pilihan. Dari pilihannya inilah akan ditentukan pemimpin yang dapat menjadi harapan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara menyeluruh dan memberikan warisan peradaban positif kepada generasi yang akan datang. Membangun peradaban memang menjadi penting, yang mana ia akan menjadi embrio untuk dilakukan sebuah refleksi diri dalam menentukan beberapa evaluasi dengan tujuan memperbaiki kondisi sosial yang belum sesuai.

Tahun 2024, merupakan tahun politik dimana juga akan menjadi tahun untuk melihat sejauh mana Indonesia mampu memberikan jaminan kesejahteraan kepada seluruh elemen masyarakat yang terdiri dari berbagai macam ras, suku, dan agama. Tentu perbedaan ini juga perluh dijadikan catatan penting, sehingga kebijakan yang diambil memiliki muatan objektif dan komunikatif bagi kepentingan semua kelompok. Dengan kebijakan seperti itu, dirasa akan dapat menjadikan alasan seluruh elemen bangsa ini untuk bersatu dalam mendukung pembangunan yang akan dilakukan pemerintah selanjutnya.

2024 juga menjadi era perkembangan digital yang begitu pesat, perkembangan ini perluh juga disikapi, sehingga nantinya tidak serta merta dijadikan sebagai sumber kebenaran informasi. Karena melihat beberapa persoalan yang muncul akhir-akhir ini selalu berkaitan dengan informasi media yang ditafsirkan secara subjektif, sehinga cenderung membaca judul yang ditampilkan, padahal informasi yang disampaikan perluh dilakukan penggalian data darimana sumber tersebut didapatkan. Sikap kritis infomatif dibutuhkan agar tidak terbawa kedalam ruang politik yang diskriminatif.   

Dengan demikian, berpemilu untuk peradaban bukanlah suatu yang amibigu, namun sangat penting karena 1 pilihan dari satu orang akan menentukan peradaban bangsa ini. Peradaban memang penting karena dari peradaban yang dibangun akan menjadi tolak ukur sejauh mana sebuah Negara mampu perkembang.  Semoga pemilu tahun 2024 berjalan damai dan lancar. Aamiin []