Oleh:
Hj. Shofiyah, M.H.I
Warek III IAI Tarbiyatut Tholabah Lamongan
Anak adalah asset bangsa di masa yang akan datang, karena anak merupakan generasi muda yang memiliki peran penting dalam menjaga dan meneruskan cita-cita bangsa. Sebab itu pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan upaya perlindungan dan pemenuhan hak bagi anak-anak bangsa. Namun saat ini perkawinan anak merupakan suatu masalah yang besar bagi anak muda di Indonesia, terbukti bahwa angka pernikahan dini di Indonesia mencapai 51 ribu kasus dalam setahun terakhir ini. Ada banyak factor yang melatarbelakangi pernikahan dini, misalnya kemiskinan, rendahnya tingkat Pendidikan serta pergaulan bebas.
Tingginya angka pernikahan dini di Indonesia menjadi persoalan serius menghadapi Indonesia Emas 2045. Di tengah bonus demografi yang sudah mulai berjalan, pernikahan usia dini dapat menyebabkan sejumlah dampak negatif dan risiko. Berdasarkan analisa data perkawinan usia anak di Indonesia hasil kerja sama BPS dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), ada berbagai dampak negatif yang dapat terjadi pada sebuah pernikahan yang dilakukan pada usia anak.
Dampak bagi anak perempuan: anak akan kehilangan hak pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak kesehatan, hak dilindungi dari eksploitasi, dan hak tidak dipisahkan dari orangtua. Berkaitan dengan kesehatanmenikah di usia dini memiliki risiko kematian saat melahirkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang sudah cukup umur. Secara psikologis seperti cemas, depresi, bahkan keinginan untuk bunuh diri. Terakhir, pengetahuan seksualitas yang masih rendah meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi menular seperti HIV.
Dampak bagi anak-anak: Belum matangnya usia sang ibu, mendatangkan konsekuensi tertentu pada si calon anak. Misalnya, angka risiko kematian bayi lebih besar, bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak berisiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting.
Dampak di masyarakat: langgengnya garis kemiskinan, ini terjadi karena pernikahan dini biasanya tidak dibarengi dengan tingginya tingkat pendidikan dan kemampuan finansial. Hal itu juga akan berpengaruh besar terhadap cara didik orangtua yang belum matang secara usia kepada anak-anaknya. Pada akhirnya, berbuntut siklus kemiskinan yang berkelanjutan.
Melihat kenyataan tersebut maka sudah selayaknya semua elemen bangsa baik pemerintah, tokoh masyarakat, agamawan, guru terutama orang tua, melakukan kerja-kerja nyata agar generasi muda kita tidak terjerembap dalam praktik pernikahan dini. Caranya dengan mengawasi secara lebih memadai, tetapi bijaksana dalam menyikapi pergaulan sosial anak-anak kita. Selain itu, pendidikan seks yang benar sejak dini di keluarga dan sekolah perlu diberikan agar anak-anak kita mengenali fungsi-fungsi organ genital mereka secara benar dan proporsional.
Selanjutnya perlu ditingkatkan sosialisasi dampak negatif dari pernikahan dini dengan menyertakan kasus-kasus riil dan fakta sosiologis di masyarakat terutama dampak dari pergaulan bebas. Selanjutnya kedepan anak-anak muda dapat meningkatkan kegiatan-kegiatan yang positif untuk mengasah minat dan bakat mereka. Peningkatan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat mengurangi angka perkawinan muda di Indonesia, sehingga para orang tua juga dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan yang telah diberikan oleh pemerintah dan tidak putus sekolah.
Selain itu dapat diberikan dispensasi nikah. Maksud pemberian dispensasi nikah adalah oleh Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama lainnya berdasarkan pada semangat pencegahan perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan.
Adapun menurut Prof. Masdar Hilmy, Ph.D (Guru Besar Mata Kuliah Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya) menyatakan ada beberapa langkah untuk menanggulangi maraknya pernikahan dini di Indonesia.
Pertama, mengakhiri dualisme regulasi dengan menghapuskan kebebasan perkawinan. Selain tumpang tindih, Ordonansi Perkawinan justru “mengosongkan” ketetapan di atas: UU Perkawinan 16/2019. Dalam terminologi hukum dikenal adanya asas lex superior derogat legi inferiori. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan di bawah ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atas.
Kedua, karena Indonesia bukan negara sekuler, maka kita tidak boleh memisahkan hukum negara dari hukum agama untuk menghilangkan dualisme hukum. Ketentuan hukum perkawinan dibenarkan atas dasar (nilai) agama. Namun, pengalaman empiris-sosiologis umat dan sekolah agama bukanlah agama itu sendiri. Ketentuan tersebut tidak dapat dijadikan acuan untuk membenarkan praktik pernikahan dini.
Selain solusi hukum, sudah selayaknya seluruh elemen bangsa (pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, orang tua, guru dan dosen) melakukan kerja nyata untuk mencegah generasi muda kita terjerumus dalam praktik pernikahan dini. Anda dapat melakukan ini dengan pemantauan interaksi sosial anak-anak kita yang lebih baik tetapi lebih cerdas. Selain itu, keluarga dan sekolah harus memberikan pendidikan seks yang memadai sejak dini agar anak-anak kita mengenal fungsi alat kelamin secara benar dan proporsional.
Langkah selanjutnya adalah mengedukasi anak-anak tentang akibat dan dampak negatif dari pernikahan dini. Bagaimana mengintegrasikan kasus nyata dan fakta sosiologis ke dalam masyarakat. Namun, tidak semua orang tua mampu atau mau “secara terang-terangan” mengingatkan anaknya akan dampak negatif dari pergaulan bebas. []