Manfaat Mencari Ilmu Untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman

by | Feb 14, 2022 | Opini

Salah satu hal yang sering dilupakan oleh manusia adalah merefleksikan diri. Merefleksikan diri sebagai tafakkur kita atau cerminan seberapa besar capaian yang selama ini sudah terpenuhi atau justru sebaliknya apa saja yang kurang sehingga perlu ditingkatkan lagi. Apalagi sebagai mahasiswa perlu adanya refleksi bukan hanya untuk diri kita sendiri namun yang lebih besar yaitu untuk kemaslahatan umat. Tentu tanggung jawab sebagai akademisi yang dipikul sangatlah besar, seberapa besar manfaat ilmu kita terhadap umat.

Hal ini sama dengan manfaat mencari ilmu untuk kemaslahatan ilmu-ilmu keislaman yang selama ini kita lihat justru memprihatinkan. Pengembangan keilmuan Islam dirasa stagnan, hanya berjalan di tempat, ditambah fanatisme terhadap pandangan keagamaan yang semakin melebar. Tentu hal ini membuat kita sedih padahal dalam sabda Nabi “Al-islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih” artinya: Islam senantiasa unggul, dan ia tidak akan terungguli, akan tetapi realitas yang ada justru Islam semakin tenggelam, kita tahu sepertiga sumber minyak berada di negara Islam namun belum bisa dimanfaatkan secara total, bahkan dalam kritikan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai indikasi Negara Islam gagal bahkan terjebak konflik yang tak bersudahan, seperti Iraq, Suriah, Afganistan dan Libya. Padahal bisnis paling menguntungkan adalah bisnis minyak bumi.

Tentu keadaan yang sedemikian ini perlu adanya perombakan yang sifatnya dapat mengubah cara pandang kita. Hal ini bisa berkaca pada kisah Nabi Sulaiman AS, ketika ditawari oleh Allah untuk memilih antara ilmu, harta, dan tahta. Nabi Sulaiman dengan tegas lebih memilih ilmu, dan pilihan tersebut terbukti adalah yang terbaik, dengan pilihan itu Nabi Sulaiman mendapatkan harta dan tahta sebagai raja. Sulaiman diberi pilihan antara harta, kerajaan, atau ilmu. Maka Sulaiman memilih ilmu. Lalu dengan sebab memilih ilmu (pada akhirnya) ia diberi kerajaan dan harta.” (H.R. Ibnu ‘Asakir dan ad-Dailami).

Salah satu yang bisa kita jadikan sebagai bahan pembelajaran, Negara Jepang setelah kalah perang dunia akibat  sekutu membom Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 dengan korban nyawa yang luar biasa besar bahkan sampai saat ini reaksi nuklirnya masih aktif, Kaisar Hirohito mengumpulkan para pejabat pemerintah dan bertanya “Berapa jumlah guru yang tersisa?”, pada saat itu Jepang memfokuskan diri pada dunia pendidikan dan pengembangan ilmu.  Hasilnya bisa kita ketahui bersama Jepang menjadi Negara maju, superior, dengan teknologi yang selalu berkembang dan melakukan terobosan-terobosan baru. Padahal dalam segi SDA-nya minim sekali bahkan Negara Jepang salah satu Negara rawan gempa tapi dalam pendapatan per kapita Jepang termasuk tertinggi.

Lalu pertanyaannya apa manfaat dari  mencari ilmu dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman, jawabannya tentu besar sekali. Kita tahu pada era kemasan Islam aktifitas akademik begitu melekat pada muslim. Terbukti dengan dimulainya proses penerjemahan Yunani kuno ke dalam bahasa Arab sebagai bentuk apresiasi keilmuan yang ada, dengan ontologi, epistimologi dan aksiologi ala filsafat Yunani yang sudah mapan, dan para cendekiawan muslim dengan ciri khasnya, bersifat religius dan spiritual yang kuat, tentu hal bukan hanya mencetak cendekiawan yang bukan hanya ahli dalam bidang kedokteran, astronomi, ahli dalam bidang matematika, sosial saja akan tetapi tumbuh menjadi ahli dalam agama.

Tidak hanya itu lembaga pendidikan tertinggi yang dikenal dengan universitas, pelopornya adalah para cendikia muslim yakni Universitas Al-Qarawiyyin di Fes, Maroko yang sudah diakui dunia sebagai Universitas tertua didunia bahkan tercatat di Guinness World Records yang sudah berdiri pada tahun 859 M hingga sampai saat ini masih eksis dan ternyata universitas ini awalnya adalah sebuah masjid yang didirikan oleh Fatima al-Fihri, memang pada awalnya masjid tersebut diadakan kajian-kajian dan diskusi yang hanya berkutat pada keagamaan namun dengan seirinnya waktu proses pembelajaran tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan. Bayangkan saja jika setiap masjid-masjid umat Islam menjadi pusat kajian dan diskusi ilmu betapa hebatnya Islam, masjid satu dengan yang lainnya bukan lagi berkutat masalah perdebatan masalah khilafiyah akan tetapi masjid satu dengan yang lainnya ramai dengan diskusi kelimuan, mulai dari fiqih, astronomi, kesehatan, dan banyak yang lainnya.  Sehingga bukan tidak mungkin lagi Islam menjadi super power tapi juga menjadi kiblat dunia sesuai dengan janji Tuhan “Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Mujaadilah: 11).

Lalu kenapa khazanah keislaman begitu besar dalam kontribusi keilmuan akan tetapi lebih stagnan, mengaca pada pendapat Fazlur Rahman kemunduran keilmuan Islam terjadi kerana beberapa faktor. Pertama, pensakralan terhadap produk-produk pemikiran ulama klasik yang mencangkup tafsir, fikih, ushul fikih, ilmu kalam dan lainnya, sehingga pembekuan hasil ijtihad tersebut dipandang final dan sakral oleh sebagian besar umat muslim. Kedua sebagai konsekuensi dari penyebab pertama maka corak keilmuan Islam cenderung bersifat penghafalan, pengulangan dan komentar-komentar (syarah) terhadap produk pemikiran pemikiran klasik, padahal sifat dari keilmuan itu selalu berkembang dan inovatif bukan berhenti pada satu titik. Disatu sisi filsafat dan pemikiran-pemikiran rasional saintifik tidak diajarkan dalam keilmuan dan pendidikan Islam bahkan menolak filsafat bagian dari Islam, sampai abad 12 dan hanya berkembang di Iran saja. Ditambah umat Islam disubukkan fenomena politik praktis sehingga perhatian sebagian umat hanya berfokus pada politik saja. (Dr. Zaprulkhan, Filsafat Islam, Sebuah Kajian Tematik, 2014:159-163)

Namun dari sekian masalah yang hadapi pengembangan keilmuan Islam Fahlur Rahman memberi beberapa solusi. Pertama, perlunya pembaruan dari bidang metode pendidikan Islam, yaitu dari metode penghafalan, pengulangan dan komentar-komentar (syarah) menjadi memahami dan menganalisis, selama ini pendidikan hanya berkonsentrasi pada buku-buku klasik ketimbang menganalisis subjeknya langsung. Kedua, pengajaran filsafat dan pemikiran-pemikiran rasional saintifik diajarkan kembali, sebab kedua hal inilah menjadi faktor pemacu kemajuan keilmuan Islam. Ketiga, membangkitkan idiologi umat Islam tentang pentingnya menuntut ilmu atau belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam makna seluas-luasnya. (Dr. Zaprulkhan, Filsafat Islam, Sebuah Kajian Tematik, 2014:170)

Hal ini selaras dengan prinsip ajaran Al-Quran, solusi yang digulirkan tentang pencarian ilmu sebagai orientasi idiologi umat Islam memang sangat signifikan. Dalam perspektif tafsir tematik, kata-kata ilmu dengan berbagai bentuk dan artinya, kata-kata ilmu disebut dengan berbagai derivasinya terulang sebanyak 854 kali. Sehingga hal ini sebagai momentum untuk terus maju agar keilmuan Islam terus berkembang.

Penulis: Drs. Masmulyo Hasan, M.Ag