Perbedaan mungkin tidak nyaman, mungkin juga menyakitkan atau bisa jadi mengecewakan, tetapi ia menjaga tatanan kehidupan yang damai. Oleh sebab itu keharmonisan dalam masyarakat menjadi keniscayaan.
Tanggal 25 Desember yang lalu, umat kristiani merayakan Hari Natal. Banyak ucapan selamat di grup juga di tempat-tempat umum. Ucapan hari Natal ini selalu satu paket dengan ucapan tahun baru. Pada perayaan hari Natal, penulis juga memilih memberikan ucapan melalui postingan WhatsApp grup dan pribadi kepada kawan-kawan pendeta, dosen saya, dan saudara-saudara yang lain. Adalah JCM (Jewish, Cristian, Muslim) suatu grup yang dibentuk sebagai tindaklanjut dari forum konferensi international interfaith yang ada di Indonesia. Menjelang perayaan hari Natal ini, diskusi WA grup merespon berita yang dilansir oleh CNN Indonesia kemudian diposting di grup Alumni JCM, bahwa MUI Sumut Larang Umat Islam Ucapkan Selamat Natal karena ucapan ini dianggap tidak sesuai dengan syariat.
Pelarangan tersebut tertuang dalam dokumen Tausiyah MUI Sumatera Utara Nomor 39/DP-PII/XII/2021 yang ditandatangani pada tanggal 9 Desember2021. Larangan pengucapan selamat Natal oleh umat Islam karena peringatan Natal sebagaimana disebut dalam fatwa MUI tidak dapat dipisahkan dengan nuansa akidah. Ucapan selamat Natal dianggap tidak sesuai dengan syariat Agama Islam.
Salah satu anggota grup, pendeta Victor, merespon berita tersebut, “Wah, bakal tidak ada ucapan Met Natal nich…dari tuan guru Purja (muslim dari Sumatera Utara yang tergabung dalam group)”. “Padahal saya sudah mengharap” sambung anggota yang lain. Mungkin merasa dikomplain, akhirnya tuan guru Purja menjelaskan bahwa walau demikian ketua MUInya adalah mantan ketua FKUB.
Lantas Pendeta Victor kemudian menyarankan, tuan guru Purja tidak perlu memberi ucapan selamat Natal agar tidak dilematis, karena memang ada larangan juga untuk menghadiri perayaannya. Tapi tentu itu tidak terjadi, karena tuan guru Purja mengucapkan selamat hari Natal tepat sehari sebelum perayaan Natal. Sekelumit obrolan enteng ini mengingatkan penulis pada awal pertemuan dengan beliau-beliau semua di forum konferensi interfaith di Salatiga.
Para aktivis interfaith ini memang kerap membicarakan praktik keagamaan yang terjadi di masyarakat dengan ringan. Agama bukan sesuatu yang dipahami secara berat, karena setiap hari bahkan setiap saat mestinya perilaku kita menunjukkan pada praktik keagamaan itu sendiri. Jika ontologis agama dipahami secara berat maka beban keagamaan juga akan berat. Obrolan interfaith dilakukan secara ringan ini agar praktik keagamaan dapat dijadikan sebagaima kanan sehari-hari yang enak untuk dinikmati. Forum perjumpaan merupakan sarana untuk mencapai persepsi yang sama tentang kehidupan bermasyarakat. Masyarakat membutuhkan agama untuk menata kehidupan sosial mereka, karena agama merupakan sumber norma dalam masyarakat. Praktik keagamaan ini bukan sekedar gagasan epistimologi semata, namun dengan beragama secara moderat, menjaga kerukunan antar umat beragama dan saling menghormati kebebasan beragama menjadi salah satu bentuk pengejawantahan aksiologisnya.
Membuka Ruang Inklusif
Forum-forum interfaith sangat penting danperlu untuk dilakukan. Saat ini di Indonesia masih ada sekatan-sekatan berdasarkan agama, bahkan ketika dalam melakukan aktivitas sosial. Masyarakat kita masih ada kecurigaan terhadap komunitas lain di luar komunitasnya. Minimnya pertemuan dengan komunitas agama lain kian mempertebal kecurigaan tersebut, sehingga tidak mengherankan ketika masih ada seperti fatwa di atas. Meminjam epistemology genetiknya Piaget (1972) bahwa permainan bahasa dalam lifeworlds itu dibangun oleh rasionalitas sebuah kelompok dibawah pengaruh ketidaksadaran kolektif. Artinya salah satu alternative untuk meminimalisir adanya kesalahpahaman dapat dilakukan dengan membuka ruang perjumpaan untuk dialog bersama dan diskusi yang komperehensif, agar pemahaman keagamaan kita menjadi inklusif. Forum interfaith sangat penting untuk mengurai benang kusut dari kecurigaan dan kesalahfahaman yang terjadi dalam kehidupan keagamaan kita. Mengapa harus mengurai keberagaman dan keber-agamaan?Ada persoalan besar menanti, intoleransi dan ekstrimisme kekerasan masih menggejala di masyarakat. Persoalan ini ibarat gunung es yang Nampak kecil di permukaannya, tetapi sejatinya di bawahnya masih sangat besar.
Intoleransi masih menjadi problem di masyarakat. Berdasarkan data survey indeks kerukunan umat beragama Puslitbang Kemenag RI tahun 2021, terdapat 34% masyarakat Indonesia enggan jika masyarakat yang berbeda agama merayakan hari besar keagamaannya. Sementara 29% orang tua di Indonesia tidak mengizinkan anaknya untuk bermain bersama teman yang berbeda agama.
Sementara dari hasil survey Wahid Institute yang dilaporkan pada 2020 tentang intoleransi-radikalisme di Indonesia cenderung naik, pada tahun sebelumnya 46% kemudian naik menjadi 54%, artinya persoalan ini menjadi hal yang krusial untuk segera diantisipasi. Dampak intoleransi dan ekstrimisme kekerasan ini banyak menyisakan luka bagi masyarakat, baik korban maupun keluarga pelaku, maka kehadiran ruang yang inklusif bisa menjadi harapan dan optimism tersendiri untuk hidup dalam tatanan yang damai dan harmonis.
Membaur Bukan Melebur
Dalam suatu kegiatan diskusi yang ada dalam konferensi JCM, kami berdiskusi tentang problem-problem sosial yang sering muncul karena adanya sekatan-sekatan keagamaan. Penyebab utama selain kecurigaan adalah ketakutan akan tercampurnya suatu ajaran agama dengan ajaran agama lain. Ini memang cukup mendasar. Sampai kemudian muncul prinsip bahwa diperlukan saat ini adalah membaur bukan melebur. Sederhana tetapi dalam. Konsep ini berarti kita memiliki kesadaran bahwa kita hidup dalam suatu lingkungan agama yang majemuk.
Negara kita menjamin kebebasan pada pemeluk setiap agama untuk beriba dah menurut agama masing-masing. Kebebasan ini bukan hanya harus diketahui, namun harus dijaga oleh setiap penduduk di Negara kita. Dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sosial kita perlu membaur dengan orang yang beragama lain. Kesadaran untuk membaur dengan komunitas lain akan membuat lingkungan kita menjadi lingkungan yang harmonis. Sementara kesadaran tidak meleburakan membuat kita mengetahui batas-batas ajaran yang memang menjadimilik agama kitamasing-masing. Dalam strukturalisme Levi Strauss (1997) bahwa semua kegiatan manusia ini, termasuk kognisi maupun tindakan merupakan hasil dari menyimulasi berbagai relasi alam. Sejarah mengajarkan bahwa kebhinekaan di Indonesia telah lestari subur dan tidak ada persoalan, Ibarat sebuah rumah, kebhinekaan Indonesia adalah tiangnya.Tiang ini akan ambruk ketika kebhinekaan itu diganti yang lain.
Sesuai dengan paket Natal dan Tahun Baru, setelah perayaan Natal ini usai, maka mari kita rayakan tahun baru dengan penuh keceriaan tanpa ada kecurigaan dan kesalahpahaman dengan komunitas agama yang lain. Selamat Tahun Baru, mari kita songsong Tahun baru dengan penuh optimis dan bahagia.
Akhirnya sampai di sini, saya ingat kata-kata Gus Dur : “Berkat perbedaan, semuanya jadi terang benerang”.Waallahua’lam.
Penulis; Dr. Alimul Muniroh, M.Ed
Editor; Intihaul Khiyaroh, M.A