Dengan mengambil tema hari guru dan judul dari bapak pendidikan Indonesia “Ki Hajar Dewantara”, tulisan ini sengaja kami tulis teruntuk pada semua dari kita yang notebenya adalah GURU, terlepas dari sinonimnya ada dosen, ustadz, kyai, mentor, pembimbing, tutor atau bahkan guru besar profesor semuanya adalah mereka yang memberikan kita ajaran bagaimana menjalani hidup, dengan tanpa mengecualikan orang tua yang telah menjadi guru yang pertama dalam hidup kita.
Hari guru yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Kepres nomor 78 tahun 1994, bisa jadi belum banyak yang tahu sejarah keberadaan hari guru. Sebenarnya hari guru bermula keberadaan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada tahun 1912, PGHB menjadi wadah perjuangan para guru saat itu, keanggotaan dari PGHB yakni guru pribumi, guru desa, kepala sekolah, pemilik sekolah. Tidak mudah untuk memperjuangkan nasib guru dimasa penjajahan, hingga pada tahun 1932 PGHB berubah menjadi PGI (Persatuan Guru Indonesia) untuk lebih membangkitkan semangat guru pribumi dimasa itu, sehingga pada moment proklamasi 1945 pengurus PGI kembali bangkit melaksanakan kongres pada tanggal 24-25 Nopember 1945 di Surakarta dan lahirlah PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang kemudian 49 tahun kemudian moment tersebut ditetapkan sebagai Hari Guru. Terlebih mengharukan lagi, ternyata guru baru “di akui” peranya di Indonesia baru di akhir tahun 2005, dengan adanya jaminan pemerintah melalui regulasi yang ditetapkan oleh presiden dalam undang-undang tentang guru dan dosen nomor 14 tahun 2005.
Terlepas dari sejarah dan pengakuan peran pemerintah terhadap guru, dimoment hari guru ini banyak hal yang perlu dijadikan perhatian bagi semua insan yang adalah guru. Terdapat dua pokok yang bagi saya perlu mendapat perhatian yakni dalam pendekatan pendidikan dan dalam tehnis pembelajaran. Pertama; dalam pendekatan pembelajaran sudah saatnya untuk berubah, perubahan adalah keniscayaan atau pasti, dimasa industri 5.0 atau millenial ini peradigma atau cara pandang tentang pendidikan telah berubah seiring perkembangan tehnologi dan gaya hidup, masa sekarangyang identik dengan VUCA (volatility ,uncertainty , complexity , andambiguity) dengan bahasa lain era yang mudah berubah, ketidakpastian, kompleksitas, dan ketidakjelasan. Maka model pendidikan yang bisa kita lakukan untuk masa yang mudah berubah (volatil) adalah dengan model pendidikan yang mengarah kepada pembentukan kompetensi kreatif, dari yang bertolak perencanaan (pasti) menjadi model persiapan dengan pendekatan multi strategi dan metode, untuk menghadapi masa ketidakpastian arah dan berita maka pendidikan yang kritis dan mencerahkan merupakan pilihan agar mereka memahami subtansi dan kebenaran serta mampu mengambil sikap, sedangkan dimasa yang penuh kompleksitas, segala sesuatu yang saling terhubung dan penuh persaingan dimasa keterbukaan ini, maka dibutuhkan pendidikan yang mengarah pada bagaimana mereka bisa berkolaborasi, bekerjasama agar mampu saling membantu serta menjaga satu sama lain, dan terakhir untuk menghadapi masa yang penuh ketidakjelasan maka ketrampilan berkomunikasi perlu diberikan baik verbal maupun tulis (literasi dan bahasa) agar mereka mampu menangkap peluang dan mengaktualisasikan dalam segala media, intinya pendidikan dengan kompetensi 4C (Creativity, Critical Thingking and Problem Solving, Collaboration, and Comunicative).
Kedua, terkait tehnis tujuan pendidikan/pembelajaranyang kurang mendapat perhatian dari guru. Seringnya kompetensi yang harusnya diajarkan luput dari proses pendidikan, yang menjadi perhatian justru pembelajaran yang diluar kompetsnsi dasar (KD) atau tujuan yang telah dtetapkan oleh guru. Yang terjadi adalah kurangya pemahaman terhadap tujuan atau kompetensi yang harusnya di miliki oleh peserta didik, terlebih hal ini menyebabkan peserta didik tidak mampu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saat assesmen, jangankan faham kompetensi yang harusnya di ajarkan, terkadang guru ketika ditanya ketentuan atau aturan terkait kompetensi saja para guru tidak tahu, materi itu di ambil dari mana. Para guru percaya saja atas apa yang ada dalam buku ajar atau LKS yang bagi yang di berikan oleh pimpinan mereka.
Ketiga; tehnis penilaian sebagai standart keberhasilan menjadi pengetahuan yang sangat dibutuhkan bagi setiap guru, sayangnya banyak yang tidak memahami bahkan memandang sepelepenilaian. Padahal penilaian sebagai muhasabah bagi guru untuk mengetahui seberapa mampu guru dalam menyampaikan materi. Sehingga jika ada pernyataan “tidak ada murid yang bodoh tapi guru yang belum bisa mengajar” adalah sebuah kenyataan, banyak guru yang dalam penilaian belum memahami proses penilaian sebagai proses muhasabah dirinya, bukan semata mengetahui kemampuan siswa, karena hasil dari penilaian yang kemudian diberikan kepada orang tua adalah merupakan bentuk manfaat penilaian yang kemudian dijadikan sebagai bentuk laporan tanggungjawab guru kepada wali. Siswa justru lebih senang jika tanpa penilaian.
Inilah fakta yang terjadi dalam pendidikan, dimoment hari guru ini mari kita semua adalah para guru untuk terus menambah pengetahuan, tidak harus dalam ruang kelas, karena semua bisa menjadi guru.
Penulis; Dr. Raikhan, M.Pd.
Editor; Intihaul Khiyaroh, M.A