Dunia maya kita sedang dilanda penyakit hati. Sampah informasi bertebaran secara masif tanpa verifikasi dan konfirmasi. hoax, rumor, fitnah, dan hujatan bersahut-sahutan nyaris tiada henti. Informas isu miring yang sudah usang datang silih berganti. Tersebar melalui Facebook, Twitter, hingga grup-grup Whatsapp, virus itu langsung menyerang otak mengoyak nalar insani. Bila terpapar virus ini, orang akan mengalami skizofrenia informasi yang berujung lunturnya nurani. Hilang kebijaksanaan akal dan keluhuran budi. Padahal akal dan budi adalah penentu seseorang, mampu tegak dalam jalur kemuliaan ataukah terjerumus dalam kemudaratan. Makanya, penyakit hati sering disebut biang segala masalah. Orang cerdas jadi tampak beringas, orang berilmu terjebak saling berseteru, dan orang berbudi dicaci-maki.
Kominfo dengan lembaga– lembaga terkait telah sering mengadakan Webinar terkait dengan media sosial ini, baik dilembaga kemasyarakatan ataupun pemerintah dan bahkan dari kalangan pendidikan atau masyarakat secara keseluruhan dalam kerangka sosialisasi penggunaan media baik tua ataupun muda, dengan harapan pandai dan cerdas dalam menggunakan media sosial.
Media sosial telah berhasil untuk memperlihatkan wajah asli dari masyarakat. Minimal masyarakat digital atau dikenal dengan nama netizen bisa menjadi sample masyarakat yang asli. Peradaban digital ini sudah hadir dalam keseharian kita, disukai atau tidak. Nukman Lutfie, seorang pemerhati dunia digital, dalam banyak kesempatan selalu mengatakan bahwa pada dasarnya seharusnya tidak ada perbedaan etika, norma, dan hukum antara dunia nyata dan dunia maya. Artinya, dalam kita beropini, dan mengunggah konten-konten harus selalu berpedoman dengan nilai-nilai yang sama yang kita anut di dunia.
Nilai-nilai atau etika yang bersifat universal dan sudah ada di kehidupan sehari-hari, harusnya juga diterapkan di media social. Nilai-nilai tersebut termasuk tidak menyinggung suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), menyebarkan unsure pornografi, unsur kekerasan, bully dan fitnah.
Berkeliarannya akun-akun palsu bahkan dengan gampangnya menyatakan pertanyaan-pernyataan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan membuat akhirnya terjadi kerancuan yang luar biasa antara Opini vs Fiksi atau lebih dikenal dengan Hoax. Salah satu konsep besar yang diajarkan dalam pendidikan dasar adalah konsep membedakan antara Fakta dan Opini.
Opini dan Hoax adalah satu binatang yang sama dalam pengertian sama-sama pernyataan subyektif bahkan mungkin imajinasi dari penulis. Tapi “kelamin” keduanya beda, kalau opini didasarkan fakta, hoax atau fiksi hanya murni didasarkan imajinasi tanpa dukungan fakta yang ada. Anies mengunjungi Rizieq Shihab di Petamburan 1/1/2017. Ini pernyataan adalah fakta karena memang benar-benar terjadi. Dari fakta ini lahirlah banyak opini, ada opini Pandji dkk yang mengatakan Anies hebat karena bisa menjadi jembatan, solusi kebersamaan, dan ada juga opini Ahokers yang melihat Anies telah menggadaikan integritas kebhinekaan dengan manuvernya itu. Para pendukung Ahok kemudian memperkuat opini berdasarkan fakta-fakta bahwa Anies menyebut Rieziq “Imam Besar Kita Semua”, Anies menyatakan di Mata Najwa mendukung pemimpin Muslim, laporan-laporan berita Anies tausiyah ke mesjid-mesjid, Anies menyanyikan lagu Islam disaat debat program, dsb. Fakta-fakta itu memperkuat opini bahwa Anies paling tidak menggunakan isu Agama untuk kampanye Pilkada DKI 2017 dan ini bukan fiksi atau hoax. Opini pihak pro Anies mungkin berbeda, tapi fakta-fakta itu tidak bisa dihapus. Fakta-fakta itu hadir di berita-berita online maupun offline. Apabila media yang memberitakan bohong, maka dengan sendirinya semua opini menjadi salah, tapi bukan opininya yang hoax, tapi beritanya yang hoax. Ini harus dibedakan.
Contoh kedua: Ahok didukung 9 Naga (9 Konglomerat China. Pernyataan ini tidak bisa dibuktikan dengan fakta. Mungkin itu bisa jadi hal yang benar, tapi selama fakta tidak bisa membuktikan, kita bukan Tuhan yang bisa tahu semuannya. Kita hanya bisa beropini atas fakta, bukan atas dugaan. Jadi, pernyataan semacam ini adalah Hoax. Sama dengan pernyataan Jokowi PKI, atau keturunan China. Pernyataan-pernyataan tanpa dasar yang hanya memerahkan telinga.
Masih banyak contoh-contoh yang lain, tapi intinya kita tidak boleh mengatakan dengan gampang semua opini itu semua hoax.
Penulis; Drs. H. Abdul Kholiq, M.Kom.I
Editor; Intihaul Khiyaroh, M.A