Wakaf Tunai: Potensi dan Tantangannya di Indonesia

by | Jun 28, 2023 | Opini | 0 comments

Oleh: Ahmad Masyhadi, M.HI.
(Dosen Tetap Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah Lamongan)

Gambar Ilustrasi (Sumber: https://www.bwi.go.id/)

Wakaf merupakan salah satu sumber keuangan yang diyakini memiliki potensi mensejahterakan masyarakat. Banyak negara yang telah mendayagunakan wakaf untuk menyokong program-program yang bertujuan untuk kesejahteraan umum. Uswatun Hasanah, mengemukakan beberapa negara telah mengembangkan wakaf secara produktif, misalnya Mesir, Turki, Yordania telah memanfaatkan wakaf untuk memajukan bidang pendidikan, kesehatan, penelitian, pengentasan kemiskinan, peningkatan ekonomi umat dan lain-lain.

Wakaf uang yang biasa disebut dengan wakaf tunai adalah penyerahan hak milik berupa uang tunai kepada seseorang atau nadzir dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan ajaran syariat Islam dengan tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya. Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, sekelompok orang dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Juga termasuk ke dalam pengertian uang adalah suratsurat berharga. Wakaf uang adalah wakaf berupa uang dalam bentuk rupiah yang dapat dikelola secara produktif, hasilnya dimanfaatkan untuk mauquf alaih.

Wakaf tunai merupakan masalah yang masih diperdebatkan di kalangan ulama fikih. Diskursus tentang wakaf tunai di kalangan ulama klasik dapat dikemukakan berbagai pendapat di kalangan para ulama madzhab. Di kalangan Hanafiyah muncul pendapat bahwa harta yang sah diwakafkan adalah benda tidak bergerak dan benda bergerak. Untuk wakaf berupa benda tidak bergerak mesti dipastikan bahwa wujud benda tersebut memiliki sifat yang kekal dan memiliki potensi untuk dapat dimanfaatkan secara kontinyu, dalam arti tidak habis atau bahkan hilang keberadaannya.

Para ulama Malikiyah membolehkan membolehkan wakaf uang dan benda bergerak lainnya. Menurut Wahbah az-Zuhaili kebolehan wakaf uang dalam pandangan ulama Malikiyah tersebut dianalogikan dengan baju perang dan binatang, karena adanya persamaan ‘illat (alasan hukum) antara keduanya yaitu sama-sama benda bergerak dan tidak kekal, yang bisa jadi suatu saat akan mengalami rusak dalam jangka waktu tertentu. Hal ini sekaligus memberikan kesimpulan bahwa Imam Maliki membolehkan wakaf untuk jangka waktu tertentu. Meski demikian, apabila wakaf uang dikelola secara profesional akan memberikan memungkinkan uang yang diwakafkan akan kekal selamanya.

Sementara itu menurut mazhab Syafi’i yang menjadi stressing point adalah kekalnya manfaat benda yang diwakafkan, baik benda tersebut berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Karenanya Imam Syafi’i melarang wakaf tunai dan pertukaran harta wakaf, seperti menjual masjid walaupun masjid yang menjadi harta wakaf tersebut roboh. Meski demikian juga ditemukan pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah yang membolehkan melakukan pertukaran harta wakaf selama bisa dipastikan manfaatnya dapat berlangsung terus menerus dinikmati oleh masyarakat umum.

Dalam konteks Indonesia, pengembangan wakaf tunai sudah mulai diserukan oleh pemerintah, yang ditindaklanjuti dengan dibuatkan Undang-undang wakaf, Peraturan pemerintah, hingga fatwa MUI. Melihat potensi wakaf uang yang dapat dikumpulkan dari masyarakat muslim, mestinya wakaf tunai dapat menjadi instrument pelengkap untuk mensejahterakan masyarakat di berbagai bidang: pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan lain sebagainya.

Wakaf tunai memiliki potensi yang sangat besar apabila dibandingkan dengan wakaf dalam bentuk benda tak bergerak. Dalam konteks kemampuan yang mewakafkan, biasanya wakaf dalam bentuk benda tak bergerak hanya dapat dilakukan oleh mereka yang kaya. Hal ini berbeda dengan wakaf tunai dimana mereka yang memiliki kelebihan uang dalam jumlah tertentu (walaupun kecil) dapat menyalurkan sebagai wakaf produktif. Selain itu, wakaf uang memiliki sifat yang lebih fleksibel dalam penggunaannya, disesuaikan dengan kebutuhan mendasar masyarakat umum. Dalam praktiknya, pemanfaatan wakaf tunai dapat digunakan untuk mengadakan benda-benda wakaf seperti membangun sumur, madrasah, rumah sakit, tempat usaha, dan lainnya. Pengelolaan terhadap benda-benda wakaf inilah yang kemudian digunakan untuk kemaslahatan masyarakat umum. Selain itu, wakaf tunai juga dapat digunakan untuk memproduktifkan benda-benda wakat tak bergerak seperti tanah kosong sehingga memberikan kemanfaatan nyata bagi umat.

Jangkauan kemanfaatan atas pengelolaan wakaf tunai juga akan lebih dapat dirasakan oleh banyak masyarakat. Wakaf tunai yang dijadikan sebagai alat investasi akan memiliki keuntungan. Selanjutnya, keuntungan atas investasi tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat dimana saja (baik lokal, regional maupun internasional). Hal ini dimungkinkan karena faedah atas investasi tersebut berupa uang tunai (cash) yang dapat dialihkan kemanapun. Investasi atas dana wakaf tersebut dapat dilakukan dimana saja tanpa batas negara. Hal inilah yang diharapkan mampu meningkatkan keharmonisan antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin.

Meskipun banyak yang optimis dengan potensi wakaf tunai dan banyak kisah sukses dalam pengembangan harta wakaf tak bergerak yang sudah terkenal di dalam negeri, namun upaya pengembangan harta wakaf tunai masih menghadapi beberapa tantangan dari beberapa aspek, antara lain sebagai berikut:

  1. Aspek Pengelola (Nazhir) Para nazhir wakaf yang ada selama ini memiliki karakteristik konservatif tradisional dalam mengembangkan wakaf, karena para pemimpin, fuqaha, dan kaum Muslim lebih tertarik dengan perlindungan/proteksi harta wakaf bukan dengan pendayagunaan (utilisasi) wakaf. Dapat dipahami kenapa aspek manajemen dan spirit kewirausahaan atas harta benda wakaf tidak dioptimalisasikan. Wakif menunjuk nazhir karena kepercayaan/amanah dan pengetahuan syariah namun banyak nazhir memiliki motivasi rendah dan kapasitas terbatas. Sebagian juga ada yang menyalahgunakan harta wakaf
  2. Masih banyak umat Muslim yang kurang memahami wakaf tunai. Dalam prakteknya, sebagian besar wakaf dilakukan dengan cara tradisional tidak mengikuti regulasi pemerintah dan penunjukan nazhir seringkali dilakukan diantara mereka (ikar wakaf atau kontrak wakaf) tanpa pernyataan di atas kertas.
  3. Dukungan Pemerintah yang terbatas Relatif terbatasnya dukungan pemerintah dalam bentuk anggaran guna memfasilitasi gerakan wakaf tunai dan penyediaan layanan untuk administrasi wakaf tunai. Kondisi ini berdampak pada rendahnya kesadaran tentang wakaf tunai.

Secara keseluruhan, wakaf tunai memiliki potensi yang besar dalam mensejahterakan masyarakat melalui pengembangan program-program yang sesuai dengan ajaran syariat Islam. Meskipun masih menghadapi tantangan, seperti karakteristik konservatif para nazhir wakaf, kurangnya pemahaman masyarakat, dan dukungan pemerintah yang terbatas, langkah-langkah seperti pendidikan dan sosialisasi, peran aktif lembaga keagamaan, peningkatan kualitas pengelola, regulasi yang jelas, dukungan pemerintah, serta kolaborasi antara lembaga keagamaan, pemerintah, dan sektor swasta dapat membantu mengatasi tantangan tersebut dan memaksimalkan potensi wakaf tunai sebagai sumber keuangan yang produktif untuk kemaslahatan umum. []