Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sedemikian pesat berimplikasi pada pengembangan sistem produksi, transportasi, dan komunikasi. Hampir semua sektor kehidupan dewasa ini berhubungandengan teknologi. Pengaruh perkembangan teknologi juga dapat mempengaruhi gaya hidup masyarakat dewasa ini, yang tidak hanya berdampak pada faktor sosial dan faktor kehidupan yang lainnya namun berdampak pula pada faktor agama. Di antara faktor agama yang terkena dampak dari perkembangan teknologi adalah al-Qur‟an.
Media sosial sebagai bagian dari media baru (new media) lahir dari perkembangan teknologi bertujuan agar kehidupan manusia yang begitu kompleks menjadi mudah dan efektif. Namun kenyataannya teknologi yang diciptakan tersebut semakin sulit untuk dikendalikan, bahkan manusia yang justru dikendalikan oleh teknologi. Perkembangan media sosial memang banyak memberikan nilai positif bagi kehidupan dan peradaban manusia. Namun di lain sisi, juga memberikan dampak negatif dalam kehidupan manusia. Komputer, media sosial, jaringan teknologi informasi dan komunikasi merupakan perangkat utama manusia abad 21.
Muhtarom Jinan mengutip dari Vin Crosbie, membagi tiga media komunikasi yang sedang berkembang dewasa ini. Pertama, media interpersonal atau one to one. Kedua, mass media dimana satu orang menyebarkan informasi kepada banyak orang (one tomany). Ketiga, menyebarkan informasi dari banyak orang kepada banyak orang (many to many). Media ketiga inilah yang termasuk dalam pembahasan new media.
Al-Qur’an dan elemen-elemen agama lainnya dihadapkan dengan media semacam itu, yang berdampak terhadap sikap dan penerimaan audiens/reader, tak terkecuali dalam penafsiran al-Quran. Hukum media sosial yang menekankan sisi efektifitas dan accessible membentuk produk tafsir Quran yang berbeda dari sebelumnya. Pola tafsir kontekstual dan integratif dengan isu-isu kontemporer menjadi karakter utama dari penafsiran al-Quran yang bertebaran di media sosial. Selanjutnya, Mc Luhan mengatakan bahwa “The medium is the message”, merupakan terbukanya gerbang perkembangan media sosial. Media dipandang sebagai perluasan dari alat indra manusia, telepon merupakan perpanjangan telinga dan televisi adalah perpanjangan mata. Maka dengan menggunakan media sosial yang biasanya penafsiran al-Quran dilakukan dengan tatap muka antara guru dan murid, sekarang dialihkan secara virtual. Orang tidak lagi mesti hadir pada waktu tertentu, cukup berbekal gawai di tangan kapan pun bisa diakses. Melihat geliat ini, para mufasir, pakar al-Qur‟an, serta cendikiawan muslim hadir di ruang-ruang media sosial dengan narasi-narasi yang beragam dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an. Secara umum, pendekatan yang digunakan cenderung kontekstual dan dibalut dengan bahasa yang lunak dan ringan. Dengan kata lain, keberadaan kajian al-Qur‟an disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tendensi pembaca.
Media sosial merupakan sebuah media online, di mana para penggunanya melalui aplikasi berbasis internet dapat berbagi, berpatisipasi, dan menciptakan konten berupa blog, wiki, forum, jejaring sosial, dan ruang dunia virtual yang disokong oleh teknologi multimedia yang kian canggih. Ardianto dalam buku Komunikasi 2.0 mengungkapkan, bahwa media sosial online, disebut jejaring sosial online bukan media massa online karena media sosial memiliki kekuatan sosial yang sangat mempengaruhi opini publik yang berkembang di masyarakat. Penggalangan dukungan atau gerakan massa bisa terbentuk karena kekuatan media online karena apa yang ada di dalam media sosial, terbukti mampu membentuk opini, sikap dan perilaku publik atau masyarakat. Inilah alasan mengapa media ini disebut media sosial bukan media massa.
Media sosial sendiri termasuk kategori media baru (new media). Media baru, secara umum mengacu pada penggunaan teknologi internet, terutama penggunaan publik seperti berita online, iklan, penyiaran, aplikasi broadcasting dan lainnya. Media baru adalah berbagai perangkat teknologi komunikasi yang berbagi ciri yang sama yang mana selain baru dimungkinkan dengan digitalisasi dan ketersediaannya yang luas untuk penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi. Livingstone mengatakan bahwa apa yang baru mengenai internet adalah kombinasi dari interaktivitas dengan ciri yang inovatif bagi komunikasi massa-jenis konten yang tidak terbatas, jangkauan khalayak, sifat global dari komunikasi.
Kehadiran media baru, khususnya media sosial seperti Facebook, Twitter, Pinterest, Path, Line, Instagram, Bigo live, WhatsApp, Telegram, dll., dapat mempercepat penyebaran informasi, mengalahkan media konvensional cetak dan elektronik seperti koran, majalah, buletin, tabloid, televisi, radio yang secara perlahan mengalami penurunan pengguna. Di dalam media sosial pula manusia saling berinteraksi satu sama lain dengan melakukan pertukaran informasi mengenai apapun; doktrin-doktrin Islam, kondisi ekonomi, tips berbisnis, saran maupun kritik terhadap kinerja pemerintah.
Perkembangan medsos telah membuka wacana baru bagi pengkaji al-Qur‟an, di mana otoritasnya dihadapkan dengan kemasan dan aturan media sosial yang profan, interaktif, dan terbuka. Kemungkinan tersebarnya model-model kajian bersifat politis-kekuasaan, keliru (falsifikasi), dan sebagainya tentu terbuka lebar. Tentu pula dapat berdampak pada kesalahpahamana terhadap ayat al-Qur‟an bagi pengguna media sosial yang tidak selektif dan objektif. Dengan demikian, perlu adanya kajian alternatif dari para cendikiawan yang kredibel dan berintegritas di laman media sosial, yang selama ini masih bertahan dengan cara-cara lama.
Kajian atas ilmu Al-Qur‟an terutama penafsiran secara umum telah dilakukan dengan berbagai variasi dan model pendekatan. Misalnya, kajian yang menekankan pada aspek paradigma dan aliran dilakukan oleh Ignaz Goldziher dan Muḥammad aẓ-Ẓahabī, model kawasan dengan karakteristik yang muncul dilakukan oleh J.J.G. Jansen untuk konteks wilayah Mesir, dan model periodesasi dilakukan oleh Abdul Mustaqim. Pada sisi yang lain juga berkembang model analisis yang fokusnya pada produk penafsiran. Secara umum pembagian corak dan aliran tafsir muncul karena dua faktor, yaitu faktor internal (al-awamil al-dakhiliyyah) dan faktor eksternal (alawamil al-kharijiyyah).
Faktor Internal (al-awamil al-dakhiliyyah) meliputi: 1. Kondisi obyektif teks al-Qur‟an yang memungkinkan dan membuka peluang untuk dibaca secara beragam. Dalam banyak literatur ulumul Qur‟an dipaparkan bahwa al-Qur‟an diturunkan dengan berbagai versi bacaan yang dikenal dalam hadis dengan sab‟ah ahruf (tujuh bacaan/qiraat). Ini yang menyebabkan munculnya beberapa aliran bacaan yang mempengaruhi penafsiran al-Qur‟an. 2. Kondisi obyektif dari kata-kata dalam al-Qur‟an yang membuka peluang bagi penafsiran yang beragam, 3. Kondisi obyektif dari adanya ambigius makna dalam al-Qur‟an, karena banyak terdapat kata-kata musytarak (bermakna ganda). Sedangkan faktor eksternal (al-awamil al-kharijiyyah) meliputi: 1.Faktor Politik. 2. Faktor teologis (kepercayaan) semata. 3. Faktor Keahlian dan Kedalaman Ilmu yang dikuasai. 4.Faktor persinggungan dunia Islam dengan dunia diluar Islam. 5. Faktor Tekanan Situasi dan Kondisi yang dihadapi mufassir.
*Opini ini ditulis oleh Dr. Fithrotin, M.Th.i, Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAI Tarbiyatut Tholabah