Kemampuan durasi konsentrasi manusia terbatas pada usia masing-masing individu. Otak dapat berfokus untuk jangka waktu tertentu, kemudian harus mendifusikan fokus tersebut. Menurut DePORTER (2000) rumus umum untuk hal fokus adalah umur otak = jumlah menit fokus. Misalnya usia siswa 12 tahun, angka tersebut sama dengan jumlah menit otak mereka dapat berfokus. Setelah 12 menit itu mantapkan pembelajaran dengan kegiatan difusi selama 3-4 menit, ambillah jeda! dengan ice breaking salah satunya.
Setiawan dalam buku kecilnya Ice Breakers (2009) menyebut ice breaking sebagai “energizer” atau “refocus”, sebagai teknik yang digunakan dalam suatu forum untuk memecahkan kebekuan dan kejenuhan yang terjadi dalam forum tersebut. Alasan penggunaannya, audien/siswa perlu dilibatkan dalam forum sehingga muncul sense of belonging dan kebersamaan, muncul adanya kejenuhan bila suasana belajar dalam waktu yang relatif lama, keterbatasan konsentrasi tiap orang dalam menerima informasi, dan beragamnya kondisi (modalitas belajar) para siswa sebelum proses pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran di kelas, ice breaking dibutuhkan oleh guru dan siswa. Tujuan dari penggunaan ice breaking tersebut antara lain:
- Mengarahkan otak agar berada pada kondisi gelombang alfa (8 s.d 12 Hz),
- Membangun kembali suasana belajar agar serius, santai, dan menyenangkan,
- Menjaga stabilitas kondisi fisik maupun psikis audien/siswa agar senantiasa fresh dan nyaman dalam menyerap informasi.
Adapun manfaat dari penggunaan ice breaking dalam pembelajaran di kelas adalah:
- Terjadinya proses penyampaian dan penyerapan informasi/pelajaran secara optimal dan maksimal,
- Tumbuhnya motivasi guru dan siswa dalam proses pembelajaran,
- Menguatkan hubungan antara guru dengan siswa.
Ice breaking dalam konteks pembelajaran di kelas memang digunakan untuk mencairkan suasana, menjaga konsentrasi belajar, membina hubungan baik antar warga kelas, pun dapat digunakan untuk menajamkan ingatan dalam pelajaran. Penggunaan ice breaking bagi guru berguna mengangkat citra positif pembelajaran, sedangkan bagi siswa pembelajaran menjadi tidak menjemukan tetapi menyenangkan. Dengan ice breaking seorang guru juga dapat mengakomodir modalitas belajar siswa, baik gaya belajar Visual, Auditori, maupun Kinestetik, multiple intelligences siswa, atau mengaktifkan IQ, EQ, dan SQ siswa.
Waktu penggunaan
Ice breaking diterapkan pada waktu pembelajaran berlangsung melewati batas usia menit fokus siswa, dapat pula diberikan ketika guru melihat ada kejenuhan pada diri siswa, atau diberikan saat materi pembelajaran memiliki keterkaitan dengan teknik dan materi Ice breaking yang diberikan. Bagi audien yang berusia dewasa, apakah ice breaking diberikan sesuai usia mereka? Misalnya usia 30 tahun, apakah setiap 30 menit harus diberikan ice breaking?. Tidak selalu, dan fokus mereka dapat dikendalikan dengan teknik yang lebih beragam, meskipun ice breaking juga diminati. Seperti dengan banyak dilibatkan langsung dalam performance, teknik penyampaian materi yang humoris, dan sebagainya.
Ragam Teknik ice breaking
Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam ice breaking, di antaranya:
- Tepuk
Menepukkan tangan merupakan kegiatan yang cukup mudah dan langsung bisa diterapkan tanpa perlu persiapan yang rumit dan panjang. Waktu yang diperlukan untuk bertepuk antara 1 – 3 menit.
2. Senam/gerak
Menggerakkan tangan, kaki, atau organ tubuh yang lain secara bergantian atau bersamaan, secara sederhana yang mudah dilakukan, tidak terlalu menguras tenaga atau memeras keringat, tidak membahayakan, dan mengandung unsur kegembiraan. Untuk kegiatan senam diperlukan waktu 1 – 5 menit.
3. Menyanyi
Menyanyi, nasyid, atau langgam merupakan kegiatan yang disukai banyak orang mulai anak-anak hingga dewasa. Menyanyi membuat suasana kelas menjadi ceria kembali. Guru sedikit berkreasi, mengubah (bukan merusak) syair lagu yang sedang “in” atau familiar tanpa mengganti nada, dan tentunya dikemas secara mendidik. Waktu menyanyi diperlukan 3 sampai 5 menit.
4. Permainan
Game atau permainan dalam ice breaking adalah kegiatan simulasi yang melibatkan audien/siswa mencerminkan suatu hikmah atau teladan tertentu. Waktu yang diperlukan dalam permainan antara 1 sampai 5 menit.
5. Bercerita
Bercerita (story telling) merupakan kegiatan menyampaikan suatu kisah, baik yang nyata, berdasarkan kenyataan, atau yang bersifat fiksi yang mengandung hikmah atau teladan. Bercerita memerlukan 2 – 4 menit lamanya.
6. Teka-teki atau tebakan
Teka-teki, tebakan, menyambung kata, atau kuiz adalah kegiatan merangsang rasa ingin tahu siswa serta membangun kreativitas siswa dalam membuat jawaban permasalahan dari sisi yang unik. Kegiatan ini melibatkan kognisi lebih kuat karena dituntut menjawab sedangkan waktunya cukup 1 sampai 2 menit.
7. Kalimat indah dan bermakna
Menyajikan kata-kata atau kalimat yang inspiratif, positif, dan memotivasi pembelajaran yang berisi hikmah dan teladan. Waktu yang diperlukan antara 2 – 4 menit.
8. Film
Pemutaran film yang positif, inspiratif, dan memotivasi siswa dapat dilakukan oleh guru dalam mengisi kebosanan atau kejenuhan suasana kelas. Durasi pemutaran film tidak melebihi waktu 5 menit.
Guru sebagai fasilitator pembelajaran sedapat mungkin menyajikan ice breaking yang tetap bermakna, positif, dan match dengan materi pembelajaran, bukan sekedar jeda, tetapi jeda yang berguna. Sehingga tidak meninggalkan prinsip pembelajaran:
- Learning how to learn (belajar bagaimana seharusnya belajar suatu pengetahuan)
- Learning how to think (belajar bagaimana berpikir sesuai dengan prinsip keilmuan)
- Learning how to do (belajar bagaimana berbuat untuk menjadi terampil)
- Learning how to live together (belajar bagaimana memiliki manfaat dalam kehidupan serta bernilai sosial dan budaya).
Bagi guru, menyiapkan ice breaking dalam pembelajaran sama dengan mengup-grade kompetensi paedagogis, pribadi, sosial, dan profesionalnya. Guru wajib berupaya keras dan cerdas (work hard and smart) untuk keluar dari pusaran Kegiatan Belajar Mengajar (learning-teaching) sebab paradigma pendidikan dewasa ini adalah Mengajar Belajar (learning-teaching) yang fokus utamanya adalah siswa sebagai aktor utama belajar. Selamat menjadi Ice Breakers.
Referensi:
DePorter, Bobbi. Reardon, Mark, dan Singer-Nourie, Sarah. 2000. Quantum Teaching; mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Bandung: Penerbit Kaifa
Harefa, Andreas. 2001. Pembelajaran Di Era Serba Otonomi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Setiawan, Aries. 2009. Ice Breakers For Teachers. Surabaya: Eduvison press.
Penulis: Moh. Fatih Luthfi, M.Pd