Mengapa dan Untuk Apa menulis? merupakan topik yang sengaja penulis angkat ketika muncul permintaan menulis dari Bu Intihaul Khiyaroh yang menangani rubrik opini di website IAI Tabah. Topik tersebut bukan sebagai pertanyaan yang harus dijawab oleh beliau secara struktural, namun sebagai pertanyaan reflektif bagi seluruh civitas akademika, khususnya para dosen di lembaga pendidikan tinggi tersebut. Sebagai pertanyaan reflektif, Mengapa dan Untuk Apa menulis? dapat dijawab dengan berbagai argumentasi, apologi dan bahkan alibi baik yang menimbulkan motivasi personal dan institusional atau bahkan sebaliknya, sebagai pernyataan destruksi kreatif yang semakin mengubur motivasi tersebut. Sebagai pertanyaan reflektif, Mengapa dan Untuk Apa menulis? tentu tidak hanya mengandung motivasi dan juga provokasi personal dan institusional baik subyektif maupun obyektif.
Sebagai pertanyaan reflektif, Mengapa dan Untuk Apa menulis? juga didasarkan dari realitas dan fenomena makro ke mikro, global ke lokal, sosial ke personal dan seterusnya. Di samping itu, pertanyaan reflektif tersebut juga mengandung apa yang disebut Zizek sebagai interogasi diri. Interogasi diri bukan sebagai istilah hukum menyangkut motif dan fakta tindakan kriminal. Interogasi diri di kalangan homo academicus, meminjam istilah Bourdieu, justru mempertanyakan motif dan orientasi di balik menulis skripsi, tesis, disertasi dan laporan penelitian serta lainnya: apakah sekedar sebagai syarat meraih gelar sarjana, master dan doktor?, apakah sekedar memenuhi formalitas demi pencairan dana bagi peningkatan status dan kelas sosial ekonomi?, apakah sekedar sebagai sarana meningkatkan posisi tawar menawar (bargaining position) di hadapan penguasa, dan seterusnya.
Jika berpijak dari realitas dan fenomena makro ke mikro, global ke lokal, sosial ke personal dan seterusnya, maka pertanyaan reflektif Mengapa dan Untuk Apa menulis?..dihadapkan pada kompleksitas dan multiplisitas. Kemajuan globalisasi kontemporer yang memuat tiga dimensi: kapitalisme lanjut (late capitalism), cyber-space dan budaya posmodern (postmodern culture) dengan kompleksitas dan multiplisitasnya menjadi belantara yang menutup ruang dan kesempatan dalam menjawab pertanyaan reflektif di atas. Sebab Mengapa dan Untuk Apa menulis? di tengah budaya literasi yang hanya bersifat simbolistik daripada substantif dan esensialistik. Mengapa dan Untuk Apa menulis?..di tengah pergeseran dari nalar kritis menuju pragmatis, instrumentalistik dan materialistik. Mengapa dan Untuk Apa menulis?..di tengah ruang dan arena hidup masyarakat bermain (society of game). Mengapa dan Untuk Apa Menulis?..di tengah budaya masyarakat tontonan (society of spectacle), di tengah budaya oral daripada tulisan, di tengah budaya narsistik dan anaklitik, di tengah budaya karnal dan libidinal. Bahkan lebih jauh, Mengapa dan Untuk Apa Menulis?..jika Teks-teks tidak lagi sebagai representasi apapun, baik subyek maupun obyek. Mengapa dan Untuk Apa Menulis?…jika Teks-teks kehilangan daya dan elan-vital bagi perubahan sosial, politik, budaya dan sebagainya.
Berbagai problem ironis yang melingkari pertanyaan reflektif, Mengapa dan Untuk Apa Menulis?..di atas sesungguhnya merefleksikan fenomena dan realitas masyarakat kontemporer. Institusi pendidikan tinggi sebagai unsur sosial juga tidak lepas dari berbagai jebakan fenomena dan realitas di atas. Dominasi dan hegemoni jebakan ini hanya menuntut resolusi berupa kesadaran reflektif-kritis melalui interogasi diri yang bersifat individual maupun kolektif. Interogasi diri sebagai rekonstruksi kesadaran reflektif-kritis memuat pertanyaan dan pernyataan tentang esensi dan eksistensi sebagai manusia.
Pertanyaan Mengapa dan Untuk Apa Menulis merupakan pertanyaan eksistensial sebagai homo academicus yang menuntut dekonstruksi dan rekonstruksi tentang esensi diri masing-masing. Modus interogasi diri tersebut didasarkan dari realitas globalisasi khususnya tiga dimensi di dalamnya yang melahirkan sikap ambivalensi dan ambuguitas antara kesadaran diri (self consciousness) dan ketidaksadaran diri (self unconsciousness), jebakan ilusi dan fantasi serta halusinasi dan sebagainya akibat penetrasi kapitalisme global. Dengan kata lain, kemajuan kapitalisme dari tahap akumulasi modal menuju kontestasi modal dengan berbagai derivasinya mendeskripsikan apa yang disebut Capra sebagai Jaring-jaring kehidupan (webs of life) yang melahirkan apa yang disebut Giddens sebagai belenggu lunak (soft constrainings) dalam struktur nalar dan kesadaran manusia kontemporer.
Interogasi diri tentang esensi dan eksistensi diri sebagai rekonstruksi kesadaran reflektif dan kritis demikian penting untuk mendasari pertanyaan Mengapa dan Untuk Apa menulis?..Keberhasilan interogasi diri dari jebakan Jaring-jaring hidup yang materialistik dan kapitalistik dalam globalisasi kontemporer akan melahirkan suatu kesadaran baru bahwa Mengapa dan Untuk Apa menulis? demikian integratif dalam esensi dan eksistensi manusia. Kegiatan menulis sebagai eksistensi yang merefleksikan esensi manusia tidak bisa difahami hanya sebagai keterlemparan diri dalam jagad yang disebut Heidegger sebagai Das Sein. Kegiatan menulis sebagai eksistensi diri menuntut sikap Das Sollen yang merefleksikan kekuatan atau elan-vital pengetahuannya. Ini didasarkan bahwa kegiatan menulis merupakan proses mengada (process of being) di antara proses mengada-proses mengada oleh Manusia-manusia lain (being of beings). Sebagai homo academicus, maka menulis merupakan modus eksistensi yang tidak hanya mendeskripsikan Narasi-narasi berorientasi materialistik namun juga melampaui materialitas (beyond materiality) demi membuka ruang transendental sebagai orientasi absolut kehidupan manusia.
Penulis; Dr. Sutikno, M.Fil
Editor; Intihaul Khiyaroh, M.A
Desain Gambar; Sjahidul Haq Chotib, M.Pd